Berita Terkini

Tangkal Politisasi SARA dengan Tingkatkan Kecerdasan Masyarakat

Surabaya, kpu.go.id - Sesi pertama Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi Pemilihan Serentak 2015-2018 di Universitas Airlangga (Unair) berlangsung menarik. Tiga pembicara langsung masuk dalam pembahasan kampanye SARA yang menjadi tema utama diskusi. 

Semua juga sepakat bahwa politik identitas dan SARA tidak dibenarkan dan mencerdaskan masyarakat melalui pendidikan politik adalah jawaban untuk menanggulanginya. 

Seperti yang disampaikan Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali yang mendorong partai politik ikut bertanggungjawab atas maraknya kampanye identitas serta SARA disejumlah proses pemilihan kepala daerah. Pria yang juga politisi Partai Golkar mengingatkan bahwa politik identitas dan SARA hanya menghadirkan keuntungan sesaat dan  merugikan secara jangka panjang bagi bangsa. 

Zainuddin pun mendorong penguatan partai politik yang notabene peserta pemilu agar mereka mampu dan tidak melakukan politik identitas dan SARA disetiap proses pemilihan. "Ini kan hulunya. Salah satu penguatannya dana saksi, karena untuk mengatasi masalah ini (politik identitas dan SARA) penguatan parpol," kata Zainuddin.

Dipenjelasan yang lain, Zainuddin pun mengatakan maraknya politik identitas dan SARA saat ini karena dianggap lebih efektif ketimbang politik uang yang membutuhkan anggaran lebih besar. "Dampaknya politik identitas dan SARA juga jauh lebih luas," tutur Zainuddin. 

Sementara itu Dirjen Otda Kemendagri Sumarsono berharap kedepan tanggungjawab partai politik juga dilakukan dengan mencerdaskan masyarakat untuk mampu menghindari politik identitas dan SARA. Menurut dia partai politik juga harus lebih menawarkan program. "Sehingga masyarakat kita bisa satu step lebih maju dalam berpolitik," tambah Sumarsono. 

Sebelumnya Ketua Departemen Politik Fisip Unair, Kris Nugroho menyampaikan hasil penelitian kampusnya terkait penyelenggaraan Pemilihan Serentak 2015-2018, dimana terjadi distingsi ditengah masyarakat imbas dari politisasi identitas dan SARA. 

Dia juga mengungkap adanya reifikasi pemilih, simbolisasi resistensi atas kelompok lain dan peningkatan politik identitas selama kurun waktu empat tahun terakhir pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak.  

Dari kalangan pembahas, peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah berharap ada penguatan regulasi untuk mencegah berulangnya politik identitas dan SARA ditiap pemilu dan pemilihan. 

Menurut dia hoax tak lepas dari fanatisme masyarakat yang kemudian selalu dimainkan elit, dengan tujuan agar muatan pesan mereka terkait upaya menjatuhkan lawan tetap berada ditengah masyarakat. "Sesuai dengan keinginan diatasnya," tutur Ferry. (hupmas kpu dianR/foto dianR/ed diR)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 317 kali